Sumber Gambar : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pembantu.jpg
Suami
Suyati (40 tahun) adalah tukang becak yang mangkal di sekitar halte Salatiga.
Suyati bukan asli dari Salatiga. Ia mengenal suaminya, ketika menjadi pembantu
rumah tangga dan sering bertemu di pangkalan becak dekat rumah majikannya.
Setelah berumah tangga, mereka tinggal bersama orang tua suami di Salatiga.
Keluarga ini mempunyai seorang putra berumur tujuh tahun, yang duduk di kelas
satu SDN Salatiga.
Mertua
Suyati, hanya mertua laki-laki, bukanlah orang mampu. Bapaknya sudah tua, tidak
bekerja, dan hidupnya dari bantuan orang lain. Rumah yang ditempati adalah
milik kakak iparnya yang tinggal di Jakarta. Kakaknya yang membangun rumah itu
yang kemudian dikontrak oleh mahasiswa. Di bagian belakang rumah disisakan dua
kamar, yang sekamar ditempati oleh keluarganya dan kamar lain untuk bapaknya.
Satu kamar berukuran (3x3)m terasa sempit dan agak sulit mengatur ruangan
menjadi rapi. Keluarga ini tinggal di ruangan itu dengan perabotan sebuah
almari kaca, sebuah tempat tidur besi, dan televisi kecil. Ruangan itu pun
dipakai untuk menyimpan barangbarang, kecuali kompor minyak yang diletakkan
di emperan kamar dan becak diparkir di halaman. Walaupun hanya satu ruangan, ia
tetap bersyukur, karena tidak harus menyewa. Secara sepintas keluarga ini tidak
terlihat miskin, karena kamar tersebut menjadi bagian bangunan rumah yang
bertembok dan berlantai keramik. Akan tetapi, sebenarnya kehidupan mereka
terpisah dengan penghuni rumah yang telah dikontrak orang lain
Penghasilan
tukang becak lumayan, rata-rata perhari dari hasil menarik becak dapat
memperoleh uang jasa Rp. 10.000,00- 20.000,00. Bila dinilai secara nominal,
jumlah tersebut cukup untuk belanja kebutuhan keluarganya, akan tetapi pengaruh
budaya tukang becak di sekitar pangkalan yang gemar main kartu dan membeli
lotere (nomor) mengakibatkan uang untuk belanja berkurang. Suyati menceritakan
bahwa suaminya bila mendapat tarikan lebih banyak, maka sebagian uang itu
dibelikan nomor. Meskipun Suyati sudah mengingatkan, tetap saja tidak
dihiraukan oleh suaminya. Kalaupun diingatkan terus, suaminya akan marah dan ia
yang berbadan kecil takut dipukul oleh suaminya yang berpostur tinggi.
Suaminya
memberi uang belanja Rp 10.000,00-15.000,00 perhari kepada istrinya. Padahal ia
harus membayar kursus komputer anaknya di sekolah Rp 7.500,00 perbulan dan
memberi uang saku sekolah Rp 2.000,00 per hari. Uang yang diperoleh juga
untuk membayar air, listrik, dan kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan makan
bapaknya. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, Suyati yang hanya bersekolah dasar
dua tahun, bersedia bekerja serabutan. Ia menyadari kekurangan dirinya yang
tidak mempunyai ketrampilan, sehingga hanya bisa mengandalkan tenaganya. Setiap
pagi, setelah anaknya berangkat sekolah dan suaminya narik becak, ia bekerja di
rumah tetangga, yaitu membantu pekerjaan rumah tangga selama sekitar tiga jam.
Menjelang anaknya pulang sekolah ia pun pulang. “Daripada menganggur, pekerjaan
itu cukup membantu keuangan”, kata Suyati. Terkadang ia diminta tetangga untuk
mencucikan atau menyetrika pakaian, membersihkan rumah, mencuci piring di
tempat orang hajatan, dan lain-lain. Ia dibayar secara sukarela dan terkadang
diberi makanan oleh anak kost atau tetangga. Di bulan
puasa, ia juga menerima zakat fitrah dari tetangganya yang mampu
Di
lingkungan RT tempat tinggalnya, sebenarnya terdapat beberapa keluarga yang
termasuk kurang mampu. Karena itu, bantuan dari pemerintah berupa beras miskin
(raskin) dibagi rata, sehingga masing-masing KK perbulan memperoleh jatah beras
empat kilogram dengan membayar Rp 6.000,00. Selain raskin, mereka menerima
asuransi kesehatan keluarga miskin yang dapat berobat gratis di RSU, dan
bantuan subsidi BBM (BLT, yang sekarang sudah
tidak ada). Bagi Suyati, bantuan tersebut sangat berarti, karena anaknya yang
terkena flek (penyakit paru-paru) mendapat pengobatan
gratis. Sedangkan uang BLT dapat dibelikan televisi. Kehidupan dengan kondisi
semacam itu telah dijalaninya selama bertahun-tahun.
Dalam
bermasyarakat, Suyati hanya mengikuti kegiatan PKK di lingkungannya. Kegiatan
lain tidak diikutinya, kecuali mendapat undangan. Biasanya ia diundang tetangga
yang mempunyai hajat untuk membantu di dapur. Sedangkan untuk kegiatan yang
menyangkut musyawarah pembangunan, ia tidak pernah diundang. Misalnya, dalam
penentuan raskin, ia tidak mengetahui proses musyawarahnya. Yang diketahuinya
adalah seperti yang dijelaskan ketua RT bahwa raskin dibagi rata ke semua KK,
karena banyak warga RT yang membutuhkan. Suyati dan suaminya menerima saja
keputusan hasil rapat RT apa adanya tanpa harus hadir atau mempertanyakan
alasannya
Sumber: https://media.neliti.com/media/publications/544-ID-menyimak-kehidupan-keluarga-miskin.pdf