Rabu, 03 November 2021

Kehidupan Keluarga Suyati (30 tahun) – Pembantu Rumah Tangga

Sumber Gambar : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pembantu.jpg

Suami Suyati (40 tahun) adalah tukang becak yang mangkal di sekitar halte Salatiga. Suyati bukan asli dari Salatiga. Ia mengenal suaminya, ketika menjadi pembantu rumah tangga dan sering bertemu di pangkalan becak dekat rumah majikannya. Setelah berumah tangga, mereka tinggal bersama orang tua suami di Salatiga. Keluarga ini mempunyai seorang putra berumur tujuh tahun, yang duduk di kelas satu SDN Salatiga.

Mertua Suyati, hanya mertua laki-laki, bukanlah orang mampu. Bapaknya sudah tua, tidak bekerja, dan hidupnya dari bantuan orang lain. Rumah yang ditempati adalah milik kakak iparnya yang tinggal di Jakarta. Kakaknya yang membangun rumah itu yang kemudian dikontrak oleh mahasiswa. Di bagian belakang rumah disisakan dua kamar, yang sekamar ditempati oleh keluarganya dan kamar lain untuk bapaknya. Satu kamar berukuran (3x3)m terasa sempit dan agak sulit mengatur ruangan menjadi rapi. Keluarga ini tinggal di ruangan itu dengan perabotan sebuah almari kaca, sebuah tempat tidur besi, dan televisi kecil. Ruangan itu pun dipakai untuk menyimpan barangbarang, kecuali kompor minyak yang diletakkan di emperan kamar dan becak diparkir di halaman. Walaupun hanya satu ruangan, ia tetap bersyukur, karena tidak harus menyewa. Secara sepintas keluarga ini tidak terlihat miskin, karena kamar tersebut menjadi bagian bangunan rumah yang bertembok dan berlantai keramik. Akan tetapi, sebenarnya kehidupan mereka terpisah dengan penghuni rumah yang telah dikontrak orang lain

Penghasilan tukang becak lumayan, rata-rata perhari dari hasil menarik becak dapat memperoleh uang jasa Rp. 10.000,00- 20.000,00. Bila dinilai secara nominal, jumlah tersebut cukup untuk belanja kebutuhan keluarganya, akan tetapi pengaruh budaya tukang becak di sekitar pangkalan yang gemar main kartu dan membeli lotere (nomor) mengakibatkan uang untuk belanja berkurang. Suyati menceritakan bahwa suaminya bila mendapat tarikan lebih banyak, maka sebagian uang itu dibelikan nomor. Meskipun Suyati sudah mengingatkan, tetap saja tidak dihiraukan oleh suaminya. Kalaupun diingatkan terus, suaminya akan marah dan ia yang berbadan kecil takut dipukul oleh suaminya yang berpostur tinggi.

Suaminya memberi uang belanja Rp 10.000,00-15.000,00 perhari kepada istrinya. Padahal ia harus membayar kursus komputer anaknya di sekolah Rp 7.500,00 perbulan dan memberi uang saku sekolah Rp 2.000,00 per hari. Uang yang diperoleh juga untuk membayar air, listrik, dan kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan makan bapaknya. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, Suyati yang hanya bersekolah dasar dua tahun, bersedia bekerja serabutan. Ia menyadari kekurangan dirinya yang tidak mempunyai ketrampilan, sehingga hanya bisa mengandalkan tenaganya. Setiap pagi, setelah anaknya berangkat sekolah dan suaminya narik becak, ia bekerja di rumah tetangga, yaitu membantu pekerjaan rumah tangga selama sekitar tiga jam. Menjelang anaknya pulang sekolah ia pun pulang. “Daripada menganggur, pekerjaan itu cukup membantu keuangan”, kata Suyati. Terkadang ia diminta tetangga untuk mencucikan atau menyetrika pakaian, membersihkan rumah, mencuci piring di tempat orang hajatan, dan lain-lain. Ia dibayar secara sukarela dan terkadang diberi makanan oleh anak kost atau tetangga. Di bulan puasa, ia juga menerima zakat fitrah dari tetangganya yang mampu

Di lingkungan RT tempat tinggalnya, sebenarnya terdapat beberapa keluarga yang termasuk kurang mampu. Karena itu, bantuan dari pemerintah berupa beras miskin (raskin) dibagi rata, sehingga masing-masing KK perbulan memperoleh jatah beras empat kilogram dengan membayar Rp 6.000,00. Selain raskin, mereka menerima asuransi kesehatan keluarga miskin yang dapat berobat gratis di RSU, dan bantuan subsidi BBM (BLT, yang sekarang sudah tidak ada). Bagi Suyati, bantuan tersebut sangat berarti, karena anaknya yang terkena flek (penyakit paru-paru) mendapat pengobatan gratis. Sedangkan uang BLT dapat dibelikan televisi. Kehidupan dengan kondisi semacam itu telah dijalaninya selama bertahun-tahun.

Dalam bermasyarakat, Suyati hanya mengikuti kegiatan PKK di lingkungannya. Kegiatan lain tidak diikutinya, kecuali mendapat undangan. Biasanya ia diundang tetangga yang mempunyai hajat untuk membantu di dapur. Sedangkan untuk kegiatan yang menyangkut musyawarah pembangunan, ia tidak pernah diundang. Misalnya, dalam penentuan raskin, ia tidak mengetahui proses musyawarahnya. Yang diketahuinya adalah seperti yang dijelaskan ketua RT bahwa raskin dibagi rata ke semua KK, karena banyak warga RT yang membutuhkan. Suyati dan suaminya menerima saja keputusan hasil rapat RT apa adanya tanpa harus hadir atau mempertanyakan alasannya

Sumber: https://media.neliti.com/media/publications/544-ID-menyimak-kehidupan-keluarga-miskin.pdf

Jumat, 22 Mei 2020

Mengikutsertakan Mereka dalam Doa


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, sebelumnya saya ucapkan mohon maaf sudah sebulan lebih blog ini belum di update, dikarenakan ada sesuatu hal yang sifatnya urgent yang tak bisa di tunda. Alhamdulillah pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan dari buku yang sama sebelumnya sudah Saya bagikan, yakni buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan yang akan saya bagikan disini merupakan bagian dari sub judul ke dua “Berbakti untuk Orang Tua yang Sudah di Alam Baka” yang terdiri dari beberapa judul yang lebih rinci lagi. Judul yang pertama adalah “Mengikutsertakan Mereka dalam Doa”, yang isinya adalah sebagai berikut:    

Nabi Nuh as pernah berdoa memintakan ampunan untuk kedua orang tuanya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Ya Tuhan! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” (Nuh[71]:28)

Allah Swt juga menganjurkan untuk mendoakan kedua orang tua, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagai mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Isra[17]:24)
Nabi Saw bersabda, “jika seseorang meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali melalui tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Nabi Saw bersabda, “Allah azza wajalla akan mengangkat derajat di syurga bagi hamba yang saleh, lalu ia (hamba) berkata, ‘Wahai Tuhanku, dari mana aku mendapatkan ini?’ Lalu Allah berfirman, ‘Dari permintaan ampunan anakmu bagimu.’” (HR. Ahmad)

Karena itu, hendaklah seseorang mengikutsertakan orang tua dalam doanya. Ia mendoakan untuk kedua orang tuanya seperti ia mendoakan dirinya sendiri, memintakan ampun untuk kedua orang tua seperti meminta ampun untuk dirinya sendiri.

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iiman

Sabtu, 18 April 2020

Memintakan Ampun bagi Orang Tua setelah Menguburkannya


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan lanjutan berjudul Memintakan Ampun bagi Orang Tua setelah Menguburkannya dari sebuah buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan ini merupakan judul kedelapan dari bagian pertama “Mengantar Pergi ke Alam Baka” setelah tulisan yang berjudul Menguburkan OrangTua di samping Kuburan Orang Saleh”. Berikut ini adalah tulisan secara lengkapnya.

Selesai prosesi pemakaman, maka berdirilah dan mintakan ampunan kepada Allah untuk yang meninggal, serta keteguhan baginya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad hasan dari Amirul Mukminin, Ustman bin Affan ra, ia berkata bahwa Nabi Saw jika selesai menguburkan jenazah, beliau berdiri seraya berkata, “Mintakanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintakanlah keteguhan karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.” (HR. Abu Daud)
Kami ingatkan kembali kepada orang-orang yang tidak sempat berbuat baik kepada kedua orang tua semasa hidupnya, sesungguhnya jalan dan pintu kebaikan masih terbuka, dan Tuhanmu Maha Pengampun terhadap hamba-Nya yang bertaubat.

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iman

Minggu, 12 April 2020

Menguburkan Kedua Orang Tua di samping Kuburan Orang Saleh


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan lanjutan berjudul Menguburkan Kedua Orang Tua di samping Kuburan Orang Saleh dari sebuah buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan ini merupakan judul ketujuh dari bagian pertama “Mengantar Pergi ke Alam Baka” setelah tulisan yang berjudul Menyalatkan dan Mendoakan Kedua Orang Tua”. Berikut ini adalah tulisan secara lengkapnya.

Berusahalah agar kedua orang tua dikuburkan di samping kuburan orang saleh atau paling tidak di pekuburan orang-orang saleh. Kaum Muslimin memiliki kuburan khusus, demikian pula halnya dengan orang-orang kafir. Menjelang Musa as wafat, beliau meminta kepada Tuhan agar kuburnya didekatkan ke Baitul Maqdis dengan jarak sejauh lemparan batu, karena Baitul Maqdis waktu itu belum ditaklukkannya. Oleh karena itu, ia meminta kepada Allah agar didekatkan padanya.

Demikian pula halnya dengan Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin yang meminta izin kepada Aisyah agar dikuburkan di samping sahabatnya, Rasulullah Saw dan Abu Bakar ra.
Adapun hadits yang menunjukkan permintaan Musa as kepada Tuhannya agar didekatkan pada Baitul Maqdis dengan jarak sejauh lemparan batu, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah. Ia berkata, “Malaikat maut diutus kepada Musa as. Ketika ia datang padanya, Musa memukulnya hingga matanya tercungkil. Lalu malaikat itu kembali kepada Tuhannya dan berkata, ‘Engkau mengutus aku kepada hamba yang belum mau mati.’ Lalu Allah mengembalikan matanya kemudian berfirman, ‘Kembalilah! Dan katakan padanya agar meletakkan tangganya pada punggung sapi, setiap bulu yang tertutupi tangannya sama dengan satu tahun tambahan usia untuknya.’ Malaikat maut berkata, ‘Kemudian, apa yang terjadi setelah itu, hidup atau mati?’ Allah berfirman, ‘Kemudian mati.’ Maka ketika ajal sudah semakin dekat, Musa meminta kepada Allah agar didekatkan pada Baitul Maqdis dengan jarak sejauh lemparan batu. Rasulullah Saw berkata, ‘Kalau saja aku di sana, niscaya akan aku tunjukkan pada kalian kuburannya di pinggir jalan di bawah bukit pasir merah.’”

Demikian pula diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur Hamman bin Munabbih, ini diceritakan Abu Hurairah pada kami dari Rasulullah Saw, kemudian menyebutkan haditsnya, bahwa Rasulullah Saw berkata, “Malaikat maut datang kepada Musa kemudian berkata padanya, ‘Penuhilah panggilan Tuhanmu (mati),’Lalu Musa as memukul mata malaikat maut hingga tercungkil. Maka malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, ‘Sesungguhnya Engkau mengutus aku kepada hamba-Mu yang belum mau mati, dan ia mencungkil mataku.’ Allah mengembalikan matanya kemudian berfirman, ‘Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan padanya, apakah kamu ingin hidup? Jika kamu ingin hidup maka letakkan tanganmu pada punggung sapi, dan setiap helai rambut yang ditutup tanganmu maka kamu akan hidup selama setahun.’ Musa berkata, ‘Kemudian apa yang terjadi setlah itu?’ Malaikat berkata, ‘Setelah itu kamu meninggal.’ Maka ketika Musa medekati ajalnya, ia berkata, ‘Wahai Tuhanku! Dekatkan aku pada Baitul Maqdis dengan jarak sejauh lemparan batu.’” Rasulullah Saw berkata, “Demi Allah! Kalau saja aku di sana niscaya akan ku tunjukkan pada kalian kuburannya di pinggir jalan di bawah bukit pasir merah.” (HR. Muslim)

Adapun hadits yang menunjukkan permintaan Umar ra agar dikuburkan di samping Rasulullah Saw adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Amru bin Maimun.
Dalam hadits itu disebutkan bahwa Umar berkata kepada Abdullah bin Umar, “Pergilah kepada Aisyah Ummul Mukminin dan katakan, ‘Umar menyampaikan salam padamu jangan kamu katakan Amirul Mukminin, karena sekarang aku bukan lagi Amirul Mukminin dan katakan bahwa Umar bin Khaththab minta izin untuk dikuburkan bersama dengan kedua sahabatnya.’” Ibnu Umar kemudian mengucapkan salam dan meminta izin, lalu masuk. Ketika itu ia mendapati Aisyah sedang duduk dan menangis. Ibnu Umar kemudian berkata, “Umar bin Khaththab mengucapkan salam padamu, dan minta izin untuk dikuburkan berdampingan dengan sahabatnya.” Aisyah menjawab, “Sebetulnya aku sangat menginginkan untuk diriku, namun hari ini aku akan memberikannya untuk Umar.” Ketika Ibnu Umar kembali dari kediaman Aisyah. Orang-orang berkata bahwa Abdullah bin Umar telah datang. Umar berkata, “Bangunkan aku.” Ia kemudian disandarkan kepada seseorang lalu berkata, “Bagaimana?” Ibnu Umar menjawab, “Seperti yang kamu inginkan wahai Amirul Mukminin. Ia mengizinkan.” Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting bagiku daripada hal itu. Jika aku meninggal maka bawalah aku padanya, kemudian ucapkan salam lalu katakan, ‘Umar bin Khaththab minta izin.’ Jika ia mengizinkanku, maka masukanlah aku dan jika ia menolakku maka bawalah aku ke kuburan kaum Muslimin.’”

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iiman

Jumat, 10 April 2020

Menyalatkan dan Mendoakan Kedua Orang Tua


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan lanjutan berjudul Menyalatkan dan Mendoakan Kedua Orang Tua dari sebuah buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan ini merupakan judul keenam dari bagian pertama “Mengantar Pergi ke Alam Baka” setelah tulisan yang berjudul Mengkafani Orang Tua dengan Baik”. Berikut ini adalah tulisan secara lengkapnya.

Bertekadlah menyalatkan kedua orang tua ketika meninggal dan ikhlas mendoakannya, serta berusaha semaksimal mungkin agar banyak yang menyalatinya. Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Aisyah ra dari Nabi Saw berkata, “Tidak ada seorang yang meninggal dunia, kemudian dishalati oleh kaum Muslimin sebanyak 100 orang dan memintakan syafaat padanya, kecuali ia diberi syafaat.” (HR. Muslim)

Demikian pula diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas dari Abdullah bin Abbas, bahwa anak beliau meninggal di Qudaid atau di Usfan. Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Wahai Kuraib, Lihatlah! Orang-orang telah berkumpul.” Kuraib berkata, “Kemudian aku keluar, ternyata orang-orang telah berkumpul untuk menyalatinya. Lalu aku memberitahu Ibnu Abbas, kemudian ia berkata’Kamu ‘Ya.’ Setelah itu beliau berkata, ‘Keluarkanlah jenazah ini untuk dishalati, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘TIdak ada seorang Muslim yang meninggal, lalu jenazahnya dishalati oleh 40 orang yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan Allah akan memperkenankan syafaat mereka terhadap yang meninggal.’” (HR. Muslim).

Jika memungkinkan, sebaiknya si anak menjadi imam dalam menyalati bapak atau ibunya, selama tidak terdapat imam yang ditunjuk oleh kaum Muslimin, atau yang menempati posisinya.

Adapun dalil yang menunjukkan dianjurkannya anak menyalati kedua orang tuanya sebagai imam adalah firman Allah Swt, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di salam Kitab Allah.” (Al-Anfal[8]:75)

Biasanya seorang anak lebih ikhlas dalam mendoakan kedua orang tuanya, dan Allah Swt mengetahui hal itu.

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iiman

Kamis, 09 April 2020

Mengkafani Orang Tua dengan Baik


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan lanjutan berjudul Mengkafani Orang Tua dengan Baik dari sebuah buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan ini merupakan judul kelima dari bagian pertama “Mengantar Pergi ke Alam Baka” setelah tulisan yang berjudul Memandikannya dengan Baik”. Berikut ini adalah tulisan secara lengkapnya.

Demikian pula ketika mengkafani kedua orang tua hendaklah dengan baik tanpa berlebihan.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim melalui jalur Abu Az-Zubair bawa ia mendengar Jabir bin Abdullah bercerita, “Suatu hari Nabi Saw menyampaikan khutbah, lalu beliau menyebutkan bahwa seorang laki-laki dari salah satu sahabatnya meninggal, kemudian dia dikafani dengan kain kafan yang pendek (tidak cukup untuk menutup seluruh tubuhnya) dan dikuburkan pada malam hari. Kemudian Rasulullah Saw melarang untuk mengkuburkan seseorang pada malam hari hingga ia dishalatkan, kecuali jika dalam keadaan mendesak. Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Jika seorang  di antara kalian mengkafani saudaranya, hendaklah memperbaiki cara mengkafaninya.”

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iiman

Selasa, 07 April 2020

Memandikannya dengan Baik


gihanaberbagi.blogspot.com. Sahabat blogger, pada kesempatan kali ini Saya ingin membagikan sebuah tulisan lanjutan berjudul Memandikannya dengan Baik dari sebuah buku karya Abu Abdullah Musthafa yang berjudul Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?.

Tulisan ini merupakan judul keempat dari bagian pertama “Mengantar Pergi ke Alam Baka” setelah tulisan yang berjudul Berhati-hatilah,Sesungguhnya Orang Mati akan Disiksa karena Ratapan (Berlebihan) Anda”. Berikut ini adalah tulisan secara lengkapnya.

Ketika memandikan mayat, Rasulullah Saw memulai dengan bagian kanan dan anggota wudhu, kemudian menyiramkan air pada semua badan dengan menggunakan daun bidara pada mandi pertama, kemudian menggunakan kafur (minyak wangi) pada mandi yang terakhir.”2 Jika tidak ada daun bidara dan kapur, boleh dengan menggunakan yang dapat menggantikannya.

Pilihlah orang yang bisa menjaga amanah dan tahu cara memandikan mayat untuk memandikan mayat keluarga. Jika Ibu Anda yang meninggal, maka pilihlah wanita salehah yang tahu cara memandikan mayat untuk memandikannya.

Tutupilah segala yang Nampak (berupa aib) pada kedua orang tua dan semua orang mati ketika memandikannya, dan jangan beberkan kepada orang-orang tentang hal yang Nampak dari mereka. Seorang mukmin terhormat ketika masih hidup maupun setelah meninggalnya.

Sumber: Musthafa, Abu Abdullah. 2008. Apa yang Bisa Kita Persembahkan untuk Orang Tua yang Sudah Wafat?. Bandung: Pustaka Iiman